Paulus dan Abdullah bin Sabaa
oleh Salim A. Fillah dalam Rajutan Makna. 17/02/2015
Alkisah, seorang Yahudi begitu bersedih.
Dari ketiga putranya, yang bungsu pindah agama menjadi seorang Kristen.
Dia termenung di sinagog besar, mengadu pada YHWH,
Tuhannya. ”Tuhan, mengapa Kau biarkan salah satu anakku memasuki jalan
sesat dengan menjadi seorang Kristen..” Pengaduannya terputus, tiba-tiba
ia mendengar sebuah suara entah dari mana. ”Mendingan juga kamu, anak
masih dua yang beriman. Lha Aku, anakKu satu-satunya saja masuk Kristen dan jadi Tuhan di sana..”
The first Christian. Begitulah
Karen Armstrong menyebut Paulus. Lalu Yesus? Jelas, tulis Armstrong,
Yesus seorang Yahudi. Dia lahir sebagai Yahudi, hidup sebagai Yahudi,
dan –menurut Armstrong- mati sebagai Yahudi. Menelaah setiap kalimat
yang keluar dari Yesus –sementara begitu saja saya menyebutnya-, dan
membandingkannya dengan apa yang ‘dikredokan’ oleh Paulus sebagai
pondasi besar kekristenan membuat terperangah. Keduanya selalu bertolak
belakang.
Lukas 16:17 mencatat kata-kata Yesus,
“Lebih mudah langit dan bumi lenyap daripada satu titik dari hukum
Taurat batal.” Matius 5:17-18 juga mencatat, “Janganlah kamu menyangka
bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para Nabi. Aku
datang bukan untuk meniadakannya melainkan untuk menggenapkannya.
Karena aku berkata kepadamu, ‘Sesungguhnya selama belum lenyap langit
dan bumi, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum
Taurat, sebelum semuanya terjadi.” Sementara Yohannes 7:49 mencatat,
“Tetapi orang banyak ini yang tidak mengenal hukum Taurat, terkutuklah
mereka!”
Itu Yesus. Apa kata Paulus? Beda lagi.
Dalam I Korintus 15:56, Paulus mengatakan, ”Sengat maut adalah dosa. Dan
kuasa dosa adalah hukum Taurat.” Dalam Roma 4:15, ia berpandangan,
”Karena hukum Taurat membangkitkan murka, tetapi di mana tidak ada hukum
Taurat, di situ tidak ada juga pelanggaran.”
Setelah beropini bahwa hukum Taurat itu
menyusahkan, Paulus berkata dalam Roma 7:6, ”Tetapi sekarang kita telah
dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia yang
mengurung kita, yang sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru
menurut Roh dan bukan dalam keadaan lama menurut huruf hukum Taurat.”
Sebelumnya, dalam Roma 6:14, Paulus mengatakan, ”Sebab kamu tidak akan
lagi dikuasai oleh dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat,
tetapi di bawah kasih karunia.” Puncaknya, sambil menanamkan doktrin
ketuhanan Yesus, Paulus berkata dalam Efesus 2:15, ”Sebab dengan matiNya
sebagai manusia, Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala segi
dan ketentuannya.”
Beberapa contoh kecil ini cukup membuat
orang berkesimpulan, jika Yesus adalah Kristus, maka Paulus adalah
Anti-Kristus. Bagaimana bisa Paulus, aslinya bernama Saul, seorang
Yahudi dari Tarsus yang sebelumnya dikenal sebagai penganiaya
murid-murid Yesus itu bisa memutar balik semua dasar kekristenan?
Karen Armstrong mencatat dalam The Spiral Staircase, My Climb Out of Darkness,
setelah penelusurannya bertahun-tahun terhadap sejarah awal
kekristenan, ”..Saya kini mengetahui bahwa surat-surat rasul Paulus
merupakan dokumen Kristen paling awal yang masih ada dan bahwa Injil,
yang semuanya ditulis bertahun-tahun setelah kematian Paulus sendiri,
ditulis oleh orang-orang yang telah mengadopsi versi Kristennya Paulus.
Bukannya Paulus menyimpangkan Injil, tetapi –lebih dari itu-, Injil-lah
yang justru memperoleh visinya dari Paulus..”
Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan. (QS Al Baqarah [2]: 79)
Awalnya, inilah agama yang ditindas di seantero Imperium Romanum.
Hingga, Konstantin, Kaisar cerdik itu membutuhkan stabilitas di
negerinya yang mau tak mau harus dimulai dari perangkulan terhadap
komunitas Kristen yang makin membesar. Atas prakarsanya, Konsili Nicea
di tahun 327 M memvoting dasar-dasar kekristenan tentang ketuhanan
Yesus, dosa waris, dan penebusan dosa. Semuanya hanyalah paganisasi
sebagaimana dikehendaki oleh Konstantine. David Fiedler memberi sampul
bukunya Ancient Cosmology and Early Christian Symbolism dengan tulisan plesetan
dominan ”Jesus Christ, Sun of God.” Ya, karena semua yang diatributkan
pada Yesus, -dari tanggal lahir, tempat lahir, hingga hari ibadah Sunday-, adalah atribut Sol Invictus, dewa matahari yang dipuja Konstantin.
Maka, walk out-lah Arius, Imam
Alexandria dan pengikutnya yang tetap bersikukuh meyakini kenabian
Yesus. Dia dan pengikutnya kemudian di-ekskomunikasi, ditindas, dan
dibantai oleh para pengganti Konstantin yang telah mengambil hasil
konsili sebagai agama negara. Maka ketika Rasulullah Muhammad menulis
surat untuk Heraclius, kaisar Romawi di masanya, beliau tak lupa untuk
menuliskan kalimat, “..Masuklah Islam, niscaya Allah akan melimpahkan
kebaikan kepada tuan dua kali lipat. Namun jika tuan berpaling, maka
tuan akan menanggung dosa atas Arisiyin..” Arisiyin berarti para
pengikut Arius yang dipersekusi.
Unik juga. Modus operandi yang sama, dicobakan seorang Yahudi lain kepada agama Islam yang dibawa Muhammad Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam.
Namanya ’Abdullah ibn Sabaa. Tetapi ia tak sesukses Paulus. Ia hanya
berhasil membangun sebuah sistem kepercayaan yang di kemudian hari
disebut sebagai Syi’ah. Jika objek Paulus adalah diri Yesus, maka
’Abdullah ibn Sabaa menggunakan ’Ali ibn Abi Thalib.
Al Qadhi Abu Ya’la ketika menjelaskan
fitnah besar yang melanda kaum muslimin di masa khilafah ’Ali ibn Abi
Thalib menyebut dengan jelas peran ’Abdullah ibn Sabaa. Satu kisahnya
yang terkenal, ketika ’Ali dan pasukannya memasuki ’Iraq pasca tahkim
(arbitrase), ’Abdullah menghasut sekelompok orang untuk bersujud pada
’Ali, yang disebutnya sebagai ’Pemegang washiat Nabi, orang yang dipilih
untuk menggantikan beliau, imam junjungan kaum beriman, manifestasi
Allah di muka bumi’.
Ketika mendapati orang-orang itu sujud,
’Ali sangat marah dan memerintahkan untuk membakar mereka. Maka
’Abdullah ibn Sabaa kembali beraksi, ”Aku telah mendengar hadits dari
Nabi Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda, ”Tidak akan menyiksa dengan api kecuali Allah.” Adakah kita kenal ’Ali selain sebagai sosok ini?”
Inilah dasar bagi salah satu sekte
paling ekstrim dalam Syi’ah; semisal Kaisaniyah, yang sampai menempatkan
kedudukan ’Ali sebagai manifestasi Allah. Guntur adalah geramnya, dan
halilintar adalah cambuk ’Ali yang murka pada para durjana. Tentu saja
kerahasiaan keyakinan yang terlindungi oleh taqiyyah menyebabkan
munculnya berbagai aliran Syi’ah yang sangat banyak dari yang paling
moderat hingga paling ekstrim. Spektrum ajaran ini amat lebar, dari
Zaidiyah di Yaman yang amat dekat dengan Ahlus Sunnah hingga Bathiniyah
Nushairiyah di Suriah yang amat jauh.
Munculnya Syi’ah sama sekali bukan bersebab faktor tunggal. Sintesis antara ajaran ‘Abdullah ibn Sabaa dengan kezhaliman yang dialami keturunan Sayyidina ‘Ali, kelak ditambah faktor ketiga yang amat dominan; dendam Persia.
Leopold Weiss, Yahudi Polandia yang
mengganti namanya menjadi Muhammad Assad setelah meraih hidayah
mengisahkan perjalanannya di Iran dalam The Road to Mecca.
Alangkah kontrasnya kegembiraan dan keriangan khas suku-suku Arab gurun
yang ditemuinya di Hijjaz dan Najd dengan kemurungan dan kesayuan yang
menjadi lekatan di wajah orang-orang Iran. Secara fisik mereka gagah,
tapi tidak tegap. Kesedihan yang parah. Seolah mendung selalu bergayut
di raut muka itu. Ada apa ini? Adakah hubungannya dengan perayaan ratap
duka yang senantiasa mereka lakukan di tanggal 10 Muharram untuk
mengenang syahidnya Husain di Karbala?
Ya. Tepatnya bukan hubungan sebab akibat, tapi sama-sama akibat. Akibat dari sebuah shock budaya dan shock
peradaban. Sebuah frustrasi atas kekalahan peradaban mereka yang begitu
agung dalam memori, peradaban Imperium Persia Sassaniyah. Ketika
angkatan perang Khalifah ’Umar dipimpin Sa’d ibn Abi Waqqash menklukkan
kekaisaran ini dan sekaligus membawakan Islam, kultus Zoroaster telah
memasuki palung kebekuan, sehingga ia tak mampu melakukan perlawanan
terhadap ide dinamis baru dari jazirah Arab. Peremajaan sosial dan
intelektual yang sedang berkecambah di titik balik itu tiba-tiba larut
oleh serbuan kekuatan baru yang sungguh-sungguh berbeda.
Islam hadir menghancurkan sistem kasta
bangsa Iran kuno dan menghadirkan satu sistem sosial yang egaliter dan
bebas. Islam membuka celah baru bagi berkembangnya energi-energi
kebudayaan yang sejak lama menggelegak diam tak tentu bentuknya. Tetapi
kultus keagungan keturunan Darius dan Xerxes yang tak serta merta
terpinggir, seolah diputus, dipenggal antara hari kemarin dan esok. Hari
ini, oleh Islam. Suatu bangsa yang memiliki watak begitu halus, telah
mendapatkan ekspresinya dalam dualisme asing agama Zand dan
pemujaan pantheistis terhadap keempat unsur –udara, air, api, dan
tanah-, kini dihadapkan pada kesederhanaan Islam dengan monotheisme tak
kenal kompromi. Peralihan itu, kata Assad, terlalu tajam dan perih.
Lebih dari itu, ada perasaan terpendam
mendalam ketika mereka mengidentikkan kemenangan cita Islam sebagai
kekalahan peradaban mereka. Perasaan sebagai bangsa yang dikalahkan dan
kehancuran tak kenal ampun terhadap wadah warisan peradaban mereka
memperparah keberantakan mereka, sehingga Islam, yang bagi bangsa-bangsa
lain adalah pembebasan dan rangsang kemajuan, menjadi sebuah kerinduan
supernatural dan simbolik yang samar.
Syi’ah, yang digarap ’Abdullah ibn Sabaa
menawarkan sesuatu yang lebih dekat dengan masa lalu jiwa-jiwa kalah
ini. Doktrin mistik, manifestasi Tuhan dalam jasad-jasad terpilih yang
agung, kesemuanya disambut sebagai jalan tengah untuk Islam yang lebih
’ramah’ terhadap kejiwaan dan kemasyarakatan mereka. Syi’ah, yang hampir
menyerupai pendewaan terhadap ’Ali dan keturunannya itu, menyembunyikan
cita benih inkarnasi dan penjelmaan kembali terus menerus. Ini suatu
cita yang sangat asing bagi Islam, tetapi sangat akrab bagi kalbu bangsa
Iran. Syi’ah menawarkan ratap duka atas Husain sebagai cermin kepedihan
atas kekalahan jiwa yang telah terjadi saat ’Umar menaklukkan peradaban
lama mereka. Begitu seterusnya.
Dulu kita bertanya, mengapa Husain lebih
diratapi daripada Al Hasan, atau bahkan ‘Ali? Mereka sama-sama terbunuh
terzhalimi. Terlepas bahwa pembunuhan Husain memang tampak lebih
dahsyat kezhalimannya, tapi ternyata Muharram punya makna tersendiri.
Sepuluh Muharram bukan hanya tanggal terbunuhnya Husain. Pada tanggal
yang kurang lebih sama di tahun 14 H, demikian menurut Saif ibn ‘Umar At
Tamimi sebagaimana dikutip Ibn Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah, pasukan Sa’d ibn Abi Waqqash yang diutus ‘Umar ibn Al Khaththab untuk Futuhat
Persia menghancurkan pasukan agung Imperium Sassaniyah di bawah
pimpinan Rustum Farrakhzad di Qadisiyah. Muharram bukan cuma duka untuk
Husain, ia juga ratapan untuk sebuah kekalahan yang takkan dilupakan.
Kini mudah menjawab, mengapa meski
Syi’ah membenci Abu Bakr, ’Umar, dan ’Utsman sebagai perampas hak ’Ali,
kebencian itu dibidikkan lebih ganas kepada ’Umar. ‘Hadits-hadits’ yang
dikarang untuk menista ‘Umar sampai pada tingkat keterlaluan hingga risi
menyebutnya. Mengapa bukan Abu Bakr si ’perampas’ pertama? Barangkali,
karena ’Umarlah yang meleburkan kebanggaan psikologis bangsa Iran itu,
sesuatu yang diterakan dalam jiwa sebagai kenangan pahit; Imperium
Sassaniyah Persia.
Dan ’Umar pun, Allah ridha padanya, syahid di mihrab, di tangan seorang budak Persia bernama Firouz.Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar