Senin, 03 Agustus 2015

Mengenang ust Nurhuda Trisula

Tiga tahun sudah sejak kepergian Ustadz Nurhuda Trisula, Muassis (pendiri) dakwah Kalimantan Timur yang lewat tangannya, hidayah Allah menyentuh sanubari ribuan manusia. 28 Januari 2012, beliau wafat setelah mengalami stroke untuk kedua kalinya. Cukuplah kematian menjadi nasihat terbesar, dan cukuplah perjalanan hidup beliau menjadi hikmah.

Ustadz Nurhuda, sapaan akrab Ustadz Nurhuda Trisula, lahir di keluarga sederhana sebagai putra ketiga dari lima bersaudara. Ayahnya Alm. Noorman dulunya adalah seorang aktifis partai politik, sedangkan Ibunya Nasikin adalah seorang kepala sekolah di salah satu SD di Blitar. Sejak kecil beliau memang sangat mencintai ilmu. Pagi sekolah, sore belajar di diniyah (pendidikan agama), malam Ustadz Nurhuda kecil belajar bahasa Arab di masjid kampung berbekal obor untuk menerangi perjalanan. Tidak hanya itu, sejak awal dia juga sudah sangat bersemangat berbagi ilmu. Ibunya mengisahkan, sejak SMP Ustadz Nurhuda sudah terbiasa mengajar les matematika untuk adik kelas dan kawan sebayanya. “Tris (Panggilan Ustadz Nurhuda), anak saya yang tidak pernah menyusahkan orang tua. Dari kecil sudah bisa cari uang sendiri, ngajar les sama ngompreng angkot. Sampai kuliah pun dia malah digaji karena kuliah di kampus dengan ikatan dinas,” tuturnya.

Tidak heran, beberapa bulan sebelum wafat beliau sempat menyampaikan keinginannya untuk kuliah lagi di bidang psikologi. “Biar nyambung kalau ngobrol dengan Dek Win,” begitu katanya pada sang istri, Purwinahyu, yang memang lulusan Psikologi Universitas Indonesia (UI).

Bu Win, sapaan akrab Purwinahyu, menceritakan bagaimana mereka menikah. “Saya tidak pernah kenal dengan almarhum. Akhir januari 1993, guru ngaji saya bilang kalau ada ikhwan mau datang setelah Shalat Maghrib. Tapi dia ternyata baru datang jam 11 malam, karena sedang berada di tengah-tengah acara mukhayyam (perkemahan). Datang pun langsung akad nikah, tanpa ta’aruf (berkenalan) dan lain sebagainya. Pasca akad nikah beliau kembali ke acaramukhayyam,” ujar Bu Win sambil tersenyum, mengingat betapa cepat nya proses pernikahan mereka. Resepsinya sendiri baru berlangsung sekitar 1,5 bulan setelahnya.

1994, Ustadz Nurhuda memboyong Bu Win ke Samarinda, saat dakwah benar – benar baru dirintis. Bu Win mengisahkan saat itu, mereka masih mengontrak sebuah rumah dengan 2 kamar. Satu kamarnya sengaja dikosongkan untuk tempat liqa’ (Pengajian). Tidak jarang Bu Win pun diungsikan ke rumah saudara yang lain, karena rumah kontrakan mereka selalu jadi pilihan utama untuk lokasi daurah (pelatihan dakwah). “Bahagia rasanya walau rumah kami sederhana, tapi bisa bermanfaat untuk dakwah,” ungkapnya

1998, saat Partai Keadilan (PK) berdiri, Ustadz Nurhuda yang saat itu berstatus sebagai PNS di kantor pajak memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Dia ingin mengabdikan diri sepenuhnya pada dakwah. Padahal tempat Ustadz Nurhuda bekerja kala itu (bahkan sampai sekarang), dikenal sebagai ‘lahan basah’. Banyak orang berlomba-lomba untuk masuk ke zona tersebut. Tapi komitmen Ustadz Nurhuda sebagai seorang Da’i, mengalahkan segala tipuan kesenangan duniawi. Ustadz Nurhuda ketika itu mengatakan pada sang istri agar tidak takut akan rezeki. Sebab dia berkeyakinan semua itu sudah diatur Sang Maha Kaya. “Gak usah khawatir, rezeki itu Allah yang ngatur. Aku bisa ngajar, jadi penjaga masjid (marbot), atau apa lah yang penting halal,” katanya pada sang istri

Sebuah pelajaran tentang bagaimana menjaminkan diri pada Allah SWT, bahwa dakwah memang tidak mengenal sikap ganda. Hanya totalitas dan Allah akan meminta semuanya.

2004, Ustadz Nurhuda terserang stroke. Dari kisah Bu Win, saat itu Ustadz Nurhuda kehilangan nyaris seluruh kemampuannya. Ustadz Nurhuda tidak dapat berbicara, t membaca dan menulis. Di tengah sakitnya, sering sekali Ustadz Nurhuda menangis. Setelah sembuh barulah sang istri bertanya perihal tersebut. “Waktu itu kenapa kok sering menangis?” Apa jawaban Ustadz Nurhuda? “Aktivis dakwah dipersiapkan untuk menanggung beban dakwah, tidak ada kata istirahat. Lah ini kok aku malah jadi beban”

Masya Allah, bukan rasa sakit yang Ustadz Nurhuda tangisi, melainkan ketidakmampuan menjalankan amanah dakwah karena kondisi fisik yang sedang sakit.

Perasaan cintanya pada amanah-amanah dakwah itu yang menjadi latar belakang, semangatnya untuk sembuh. Dokter ahli bedah syaraf pun mengatakan pada istrinya, tidak pernah ada pasien stroke sebelumnya yang sembuh lebih cepat dari Ustadz Nurhuda. Saat dokter menyarankan untuk fisioterapi, beliau langsung mengiyakan, bahkan meminta jadwal terapi setiap hari. Belakangan Ustadz Nurhuda baru jujur, bahwa dari seluruh rasa sakit yang pernah dirasakan, tidak ada yang mengalahkan sakitnya saat menjalani fisioterapi pasca terserang stroke. Keinginan untuk segera berkontribusi bagi dakwahlah yang memberikan kekuatan menahan semua rasa sakit tersebut.

Pernah suatu hari, saat Ustadz Nurhuda belum dapat berbicara dan berjalan pun masih harus menggunakan tongkat. Dia bersikukuh untuk ikut rapat di Dewan Pengurus Wilayah (DPW) PKS. Bu Win yang ikut menemani (sebenarnya Ustadz Nurhuda memang belum diizinkan untuk beraktivitas) bercerita, saat itu Ustadz Nurhuda dengan semangat berangkat ke DPW PKS. Ustadz Nurhuda seringkali mengangkat tangannya saat pemimpin rapat meminta usulan, walau saat itu tak satu kata pun bisa beliau ucapkan. Keinginannya untuk berkontribusi tak terbendung.

Ustadz Nurhuda tidak pernah mau diistimewakan walaupun dengan kondisi fisik yang tidak lagi 100 persen sehat pasca terjangkit stroke. Penulis mendapat kisah dari seorang ikhwan kepanduan, saat mukhayyam, Ustadz Nurhuda ikut menempuh perjalanan dengan berjalan kaki, walau ikhwah yang lain sudah memaksanya naik ke mobil panitia. Ustadz Nurhuda tidak pernah meminta rukhsah untuk tidak hadir rapat atau agenda-agenda dakwah lain hanya karena sakit.

Ustadz Masykur Sarmian saat memberikan sambutan dipemakamamnya mengisahkan, pernah dalam sebuah forum yang berlangsung hingga larut malam, gurat-gurat kelelahan itu sudah sangat terlihat, namun Ustadz Nurhuda tetap mengikuti acara tersebut hingga selesai, lengkap dengan kontribusi ide untuk kemajuan dakwah. Kadang rekan-rekannya di DPW terpaksa tidak mengundang beliau untuk rapat atau bahkan berpura-pura mengakhiri rapat agar beliau pulang dan istirahat. Hidupnya memang hanya tentang dakwah, nafasnya adalah dakwah, detak jantungnya adalah dakwah.

Sebelum terkena serangan stroke yang kedua, Ustadz Nurhuda berkata pada seorang ikhwah. “Saya ini kalau kena stroke lagi, alamat 80 persen wafat” candanya. Wajah nya tenang, tak ada ketakutan. Ikhwah tersebut kemudian menyarankan Ustadz Nurhuda untuk memperbanyak istirahat. Tapi apa jawabannya! Sambil tersenyum dia berucap “Akhi, justru di saat-saat seperti ini saya harus semakin banyak bekerja. Mana tau kalau ternyata itu adalah kontribusi terakhir saya untuk dakwah.”

Begitulah Ustadz Nurhuda. Takkan cukup kata-kata untuk menggambarkan betapa istimewanya beliau di hati kader- kader PKS Kaltim. Dia seperti namanya “Nurhuda” menjadi perantara cahaya petunjuk bagi manusia dan selalu tersenyum dalam kondisi seberat apapun. Usia biologisnya boleh hanya 42 tahun, namun usia historisnya tidak akan lekang ditelan masa.

Jasadnya boleh pergi meninggalkan kita semua, tapi ruh dan semangat perjuangannya akan terus hadir, akan semakin menguatkan tekad kita untuk menjaga dan memenuhi janji pada Allah SWT, seperti yang selama ini beliau contohkan, sampai kaki menginjak Surga.

Ila Liqa ya Syaikh. Sungguh engkau hanya mendahului kami, kelak kami semua akan menyusulmu. Kami berjanji sepenuh hati dan Allah menjadi saksi, akan kami lanjutkan perjuanganmu, akan kami rawat pohon yang 20 tahun lalu kau tanam dengan penuh cinta. Dan semoga nanti di suatu sore yang tenang, di sebuah sudut di dalam Surga, Allah berkenan untuk mempertemukan kita kembali. Semoga Allah membayar segala pengorbananmu dengan tegaknya Islam di Negeri ini.


Sumber:  http://kaltim.pks.id/2014/01/cahaya-yang-tersenyum-mengenang-2-tahun-wafatnya-sang-muharrik-dakwah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar